Renungan Harian 17 November-“Masa Hidupku Ada dalam TanganMu”

Dari Buku: Tiap-tiap Hari Menelusuri Sejarah Baptis

Nas: Mazmur 90

Kita telah melihat sekilas (9 Juli) kehidupan Dr. J. G. Binney, yang melayani Tuhan dengan setia di Burma selama dua puluh enam tahun. Perhatian kita beralih kini kepada istrinya, Ny. Juliette Pattison Binney. Ny. Binney dilahirkan tanggal 1 Oktober 1808. Sebagai seorang wanita muda, dia dibaptis oleh saudara laki-lakinya sendiri, Dr. R. E. Pattison, gembala sidang dari First Baptist Church di Providence, Rhode Island, yang belakangan menjabat sebagai sekretaris dalam negeri dari Missionary Union. Setelah menerima pendidikannya, Nn. Pattison mengajar di Charlestown Female Seminary. Semasa itulah dia bertemu dengan calon suaminya. Pasangan itu menikah tahun 1833, dan setelah beberapa penggembalaan di Amerika, mereka berlayar ke Burma tanggal 17 November 1843. Ayah Dr. Binney, walaupun sudah diselamatkan, tidak dapat mengerti “perlunya mencari bidang pelayanan yang lebih luas.”¹

Pastilah sangat sulit untuk mengucapkan selamat tinggal. Namun, Reverend J. G. Binney telah sejak awal membuat komitmen untuk mencari kehendak Allah dalam hidupnya. Dia menulis: “Ketika saya memulai perjalanan Kristiani, saya berketetapan untuk tidak pernah bertanya apa yang saya lebih suka . . . tetapi apa yang Allah perintahkan, dan kehendakNya harus selalu mengendalikan langkah-langkahku.”² Setelah seratus empat puluh hari di laut, mereka tiba di Burma tanggal 6 April 1844. Kehidupan seorang “istri misionari” adalah keras, dan dalam perjalanan waktu, kesehatan Ny. Binney mulai memburuk. Dia terpaksa kembali ke Amerika pada bulan April 1850, dan sepucuk surat ke saudaranya delapan belas bulan sebelumnya memberikan gambaran yang penuh tentang hati dan kehidupannya.

Sebagaimana kamu bisa lihat dari tanggal surat ini, saya telah berusia empat puluh tahun; dan kemarin adalah ulang tahun pernikahan saya yang kelima belas; dapatkah kamu membayangkan “adik perempuan kecil”mu sedemikian tua? . . . Joseph, saya perhatikan, agak khawatir tentang kesehatan saya. Saya sendiri tidak khawatir. Saya tidak berharap akan hidup banyak tahun ketika saya tiba di negeri ini, dan saya ingat ibu kita yang tersayang, ketika saya berusaha menyembunyikan rambut putihnya dengan cara menyisir mereka ke dalam, dia memberitahu saya untuk tidak pernah dikhawatirkan oleh hal seperti itu. Suamiku kemarin berkata, bahwa jika ketika meninggalkan gerejanya di Savannah, dia bisa tahu pasti bahwa dia akan hidup hanya cukup lama untuk melakukan apa yang Tuhan telah izinkan kami lakukan di sini, dia tidak akan ragu sesaat pun. Janganlah terkejut, kalau saya memburuk, saya harus pulang. Kami sama sekali tidak memiliki pikiran akan bisa melihat mukamu yang tersayang lagi, walaupun saya rela memberikan apapun untuk itu, kecuali keyakinan hati nurani.”³

Kesehatannya membaik di Amerika Serikat, dan Dr. beserta Ny. Binney naik kapal kembali ke Burma. Tetapi ketika kesehatannya memburuk lagi tahun 1863, dia terpaksa kembali ke Amerika Serikat untuk kedua kalinya. Selama istirahat terpaksanya di Amerika, kesehatan Dr. Binney juga memburuk, dan dia kembali ke rumah. Namun, sesegeranya kesehatan mereka memungkinkan, pasangan itu berlayar lagi ke Burma.

Kisah kehidupan pelayanan mereka tidak dapat diceritakan sepenuhnya di sini, tetapi pada saat kematian suaminya tercinta di laut pada tanggal 26 November 1877, Ny. Binney terus ke Rangoon, di mana dia menghabiskan tahun-tahun terakhir hidupnya dalam pelayanan bagi sang Juruselamat. Dia meninggal tanggal 18 Mei 1884, tetapi telah “mengajar kelas Alkitab-nya . . . sehari sebelum malam dia pulang ke rumah Surgawinya. . . Pendidikannya, pikiran dan hatinya, membuat dia siap menghadapi perubahan-perubahan besar dan pekerjaan-pekerjaan heterogen yang diberikan kepadanya. Hidupnya diberikan bagi kebaikan kaum Karens, dan harta benda yang Allah taruh ke tangannya, semuanya dia berikan untuk misi, terkecuali apa yang perlu untuk perawatan kaum keluarganya.”4

Walaupun mengantisipasi kematian yang dini, Ny. Binney hidup hingga hampir tujuh puluh lima tahun. Sungguh masa hidup kita ada di tanganNya! Kiranya kita, yang mengakui nama Kristus hari ini, menetapkan hati untuk tidak mencari apa yang kita mau lakukan, tetapi apa yang Tuhan ingin kita lakukan, sebagaimana Dr. dan Ny. J. G. Binney.

DLC
_________

¹ Mrs. J. G. Binney, Twenty-Six Years in Burma (Philadelphia: American Baptist Publication Society, 1880), hal. 153.
² Ibid., hal. 31.
³ Ibid., hal. 23.
4 A. H. Burlington, The Society of Baptist Missions (St. Louis: C. R. Barnes Publishing Co., 1892), hal. 925.
———————————–

Renungan Tambahan DR. SUHENTO LIAUW:

1. Tak dapat dibayangkan keadaan suku Karen sekitar dua ratus tahun lalu, karena sekarang saja masih terbelakang. Tetapi suku Karen adalah suku yang beruntung karena mendapat perhatian pengiriman misi dari AS di awal abad 19. Banyak orang Kristen berhutang pada misionari dari AS yang mempersembahkan hidup mereka untuk Tuhan, bahkan mereka sudah siap mati muda. Bagi orang yang siap ke Sorga dan pasti ke Sorga mati kapan saja tidak ada masalah. Bagaimana dengan Anda?

2. Ny. Juliette Pattison Binney, bukan wanita yang terjun ke pelayanan misi bersama suaminya karena terpaksa ikut suami. Terbukti setelah suaminya meninggal dia masih teruskan pelayanan tanpa suaminya. Hidup yang dipersembahkan kepada Tuhan tidak diturunkan dari mezbah setelah suami terlebih dulu dipanggil pulang. Persembahan hidup yang patut diteladani.

3. Tidak ada persembahan yang lebih bernilai daripada persembahan atas seluruh kehidupan kepada Tuhan. Apa yang Anda persembahkan kepada Tuhan? Hidup kita hanya puluhan tahun, apakah kita sedang mengisinya dengan sesuatu yang akan bertahan sementara, atau kekal? Persembahkan seluruh hidupmu, atau jadi pendukung di barisan kedua, yaitu mendukung penuh pelayan pemberitaan Injil alkitabiah dan pendirian jemaat alkitabiah di tempat Anda dan dimana saja.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *