Banyak orang bertanya bahkan mencemooh GITS (Graphe International Theological Seminary) karena tidak terakreditasi. Padahal sesungguhnya kalau mereka tidak berminat masuk GITS mereka tidak perlu mempermasalahkan posisi GITS. Kami tidak tahu apa sesungguhnya motivasi mereka.
Negara mendirikan lembaga akreditasi dan membuat aturan akreditasi bagi institusi pendidikan yang mengharapkan tamatannya diterima sebagai pegawai negeri, adalah sangat tepat. Setiap warga negara bebas belajar dan mengajar, tetapi negara berhak mengendalikan mutu pendidikan yang dijalani PNSnya, dan juga menjaga agar penjahat tidak memakai pendidikan untuk menipu orang.
Semua pihak pemakai hasil pendidikan berhak menetapkan kriteria pada pelamar, salah satunya ialah jenjang akreditasi. Pelamar PNS dituntut berijazah akreditasi adalah hal yang patut, demikian juga dengan institusi pendidikan lanjutan meminta ijazah akreditasi dari jenjang di bawahnya yang melamar, juga bisa dimengerti. Tetapi ada perusahaan atau institusi pendidikan yang lebih mementingkan mutu dan kemampuan faktual daripada selembar kertas akreditasi, juga harus dimengerti.
Tahun 1993 saya pergi kuliah ke AS, ketika dua anak saya mau masuk sekolah di sana, satu kelas 5 dan satu kelas 8, kepala sekolah menatap mereka karena terlihat badan mereka sangat kecil dibandingkan anak Amerika. Kemudian katanya, tidak ada masalah asal bisa mengikuti pelajaran dan jika tidak bisa maka kita turunkan tingkatannya, ok? Tentu saya jawab ok. Segala dokumen yang saya bawa dari Indonesia, sama sekali tidak mau dilihatnya, dan mereka langsung masuk sekolah. Ketika tahun 1995 saya pulang Indonesia, dan mau daftar mereka satu di kelas 7 (SMP) dan satu kelas 10 (SMA), ampun betapa sulitnya karena sekolah di Jakarta berkata, tidak bisa tanpa surat dari Kanwil, Dinas, dan mereka tidak mau tahu isi pengetahuan anak-anak saya, melainkan yang penting adalah dokumennya.
Di dunia yang masih pakai akal sehat, dan terlebih negara yang demokratis, seharusnya menyelenggarakan pendidikan adalah hal yang sangat mulia, bukan kesalahan apalagi kejahatan. Terlebih lagi menyelenggarakan pendidikan tanpa mencari keuntungan materi, tentu kegiatan demikian harus dilihat sebagai tindakan membantu pemerintah.
GITS tidak mau diakreditasi tentu memiliki alasan.
[1]. GITS tidak mau diakreditasi karena GITS membiayai operasinya dengan uang persembahan jemaat. Hampir semua yang belajar di GITS tidak membayar baik uang kuliah, asrama dan makan, karena kami tidak mau uang menjadi kendala bagi orang yang terpanggil menjadi pelayan Tuhan. Jika GITS diakreditasi maka mungkin ribuan calon mahasiswa akan daftar karena mutu GITS yg sangat tinggi, dan kami akan kesulitan untuk menyeleksi yang sungguh-sungguh mau jadi hamba Tuhan dari yang mau jadi PEGAWAI NEGERI. Dengan tanpa akreditasi maka yang mau jadi pegawai negeri dipersilakan ke Sekolah yang terakreditasi, sedangkan yang murni mau jadi hamba Tuhan silakan datang ke GITS. Jemaat Graphe tidak rela uang persembahan mereka dipakai untuk menghasilkan pegawai negeri.
Jadi, bagi kami isu akreditasi justru sebagai alat untuk menyeleksi yang murni mau jadi hamba Tuhan dari yang sekedar kuliah untuk cari pekerjaan.
Kami malah senang jika ijazah GITS tidak laku di pasaran agar ijazah GITS tidak dipakai untuk sekedar cari makan. Ijazah GITS tidak bisa dibuat untuk apa-apa selain hanya secara internal untuk mengingatkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki ukuran pengetahuan theologi setara Bachelors, Master atau Doktor. Ukuran yang diberikan oleh GITS sangat akurat karena sama sekali tidak ada unsur materi, KKN, dll..
[2]. Kami sangat menjaga kemurnian doktrin yang alkitabiah. Dengan akreditasi yang mengharuskan pencampuran, kemurnian doktrin alkitabiah kami akan terkhamirkan ragi. Kemurnian doktrin alkitabiah kami adalah harta yang lebih mahal dari nyawa kami. Kami tidak bisa mempekerjakan dosen manapun yang doktrinnya tidak sama dengan kami. Dan kami tidak mau berbohong dengan mengajukan data palsu, bikin perpustakaan sementara dengan suruh dosen pinjamkan buku nanti sesudah dinilai lalu ambil kembali, dan melakukan berbagai trik untuk akreditasi.
[3]. Kami melihat pelajaran theologi BERBEDA dari mata pelajaran sekuler. Mata pelajaran matematika di Indonesia tak mungkin boleh berbeda dari matematika di AS atau Eropa. Tetapi, theologi tidak sama karena tidak ada standarnya. Contohnya, theologi sebuah denominasi dinilai tinggi oleh gereja2 denominasinya namun dinilai rendah bahkan sesat oleh kelompok denominasi lain. Berapapun tingginya tingkat akreditasi STT-nya Saksi Jehovah, bagi gereja2 Protestan itu sama sekali tidak ada nilainya. Berapapun tingginya Rangking akreditasi STT Reformed dengan misalnya jutaan buku perpustakaan, bagi kami theologi PREDESTINASI adalah theologi hasil salah tafsir Alkitab.
[4]. Kami melihat tingkat kemampuan akademik sebuah STT lebih tepat dinilai dari kemampuan alumni yang dihasilkannya. GITS telah menghasilkan banyak alumni, dan lebih dari separuhnya telah berhasil mendirikan gereja sendiri dari nol. Alumni GITS yang S1 saja tingkat kemampuan bahasa asli Alkitab mereka bisa sederajat dengan S2 bahkan S3 STT lain. Orang Kristen seharusnya tahu bahwa yang terpenting itu adalah performa di ladang pelayanan bukan selembar kertas yang ditandatangani pejabat dan dicap negara.
[5]. Kami melihat bahwa pemerintah yang mengakreditasi institusi pendidikan sekuler sebaiknya tidak mengakreditasi institusi yang sifatnya keagamaan, karena sifatnya memang berbeda. Institusi pendidikan keagamaan itu untuk kebutuhan agama yang bersangkutan, bahkan lebih spesifik lagi untuk kebutuhan denominasi dalam sebuah agama yang mendirikannya, bukan untuk umum. Setahu saya di AS tidak ada satu pun sekolah theologi Baptis yang diakreditasi oleh negara karena tidak ada keperluan bahkan mereka merasa negara tidak boleh ikut campur tangan dalam hal ini.
[6]. Memakai akreditasi untuk menarik mahasiswa, namun tingkat akademiknya hanya alakadarnya, dengan kemampuan dosen yang juga dari hasil kuliah alakadarnya, kami lihat itu sebenarnya adalah penipuan, dan sikap yang tidak jujur di hadapan Tuhan.
[7]. Hasil pengamatan kami akreditasi STT mulai ramai sejak penetapan pelajaran agama di sekolah negeri, yang seharusnya tidak boleh ada. Singapore, AS, dan banyak negara Eropa, tidak mau sekolah negeri mereka ada pelajaran agama, karena seharusnya agama bukan urusan negara. Tetapi, karena agama tertentu di negeri ini berusaha memanfaatkan negara untuk kepentingannya, demikian juga pemimpin sebagian denominasi Kristen, maka kebutuhan guru agama sangat besar. Demi kebutuhan guru agama inilah akreditasi STT diawali karena status guru agama itu pegawai negeri. Karena status mereka pegawai negeri maka penerbitan ijazah yang mereka pakai untuk masuk perlu diawasi negara. Dan banyak STT akhirnya berlomba mengkhamirkan diri mereka. Karena kami putuskan GITS hanya mencetak hamba Tuhan khusus untuk membangun jemaat, jadi untuk apa GITS mengkhamirkan dirinya dengan akreditasi? Tidak ada keperluan.
[8]. Kesalahan dunia yang terbesar ialah mencampur urusan negara (horizontal) dengan urusan agama (vertikal). Seharusnya negara tidak mengurus masalah iman (agama), dan pemimpin agama tidak memanfaatkan negara untuk memajukan agamanya. Berikanlah pada kaisar yang menjadi hak kaisar dan kepada Tuhan yang menjadi hak Tuhan.
[9]. Jika pemimpin agama non-Kristen tidak paham akan pernyataan Yesus Kristus tentang pemisahan urusan Kaisar (pemerintahan) dan urusan Tuhan (iman) itu bisa kita maklumi. Tetapi, pemimpin Kristen dan orang Kristen seharusnya tidak ikutan jadi tidak paham bahwa Gereja dan sekolah theologi seharusnya tidak perlu diurus pemerintah.
Kesimpulan:
Kami tidak bersikap melawan pemerintah, melainkan ingin membantu pemerintah dengan menghasilkan pemimpin agama yang jujur, bermutu, dan berpendirian, tanpa mau merepotkan dan membebani dana pemerintah untuk urusan akreditasi.
Jakarta, 14 November 2017
DR. SUHENTO LIAUW, DRE., TH.D.
<www.graphe-ministry.org>