Doa, Puasa dan Makanan Haram

Sistem Ibadah Pada zaman P.L., atau lebih spesifik lagi sejak Taurat diturunkan hingga Yohanes Pembaptis tampil (Luk16:16, Mat.11:14) ialah sistem ibadah simbolistik ritualistik jasmaniah (SRJ), Ketika itu Allah memerintahkan bangsa Israel mendirikan ibadah simbolik untuk mengingatkan segala bangsa tentang janji Allah untuk mengirim Juruselamat. Pada zaman ibadah simbolik, manusia beribadah dengan simbol. Domba yang disembelih menyimbolkan Sang Juruselamat, dan penyembelihannya menyimbolkan penghukuman atas dosa. Ritual ibadah dalam Bait Allah seluruhnya bersifat simbolistik, atau bersifat bayangan (Ibr.10;1, Kol.2:16-17).

Pada zaman tersebut ibadah simbolistik maka dilakukan secara lahiriah/jasmaniah. Manusia diperintahkan menyembah secara lahiriah, dan segala sistem ibadah bersifat lahiriah seperti berdoa sambil sujud, berpuasa, semua dihitung sebagai hal yang harus dikerjakan untuk menyenangkan Tuhan. Intinya, segala sesuatu yang terjadi didalam hati harus diekspresikan ke dalam bentuk luar yang terlihat oleh mata manusia.

Tujuan perintah ini ialah untuk mengingatkan manusia akan rahasia illahi yang masih tersembunyi pada saat itu (Kol.1:26). Di surat Ibrani Paulus menulis bahwa itu sistem ibadah bayangan, bukan hakekatnya. (Ibr. 10:1).

Rahasia Disingkapkan

Akhirnya, setelah tiba waktu yang dite-tapkan Allah (Gal.4:4) maka Allah menyingkapkan rahasia yang tersembunyi berabad-abad (Kol.2:26), yaitu kedatangan Sang Hakekat yang telah disimbolkan (disembunyikan) berabad-abad, yaitu Anak Allah menjadi manusia, menanggung dosa seisi dunia. Sejak pengumuman tentang kedatanganNya yang dilakukan oleh Yohanes Pembaptis, maka genaplah tujuan seluruh ibadah simbolistik, ritualistik lahiriah dalam P.L..

Itulah sebabnya Kristus berkata kepada wanita Samaria, “tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akanmenyembah Bapa dalam roh dan kebenaran;sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian” (Yoh.4:23).

Menyembah dalam roh dan kebenaran itu bukan seperti dukun lagi kesurupan dan berbahasa roh halus, melainkan menyembah secara inside, artinya dengan hati dan roh bukan dengan tubuh jasmaniah. Dan tidak ada batasan ibadah yang bersifat lahiriah karena sejak ibadah itu bersifat inside dari dalam hati, maka tidak ada sesuatu yang bersifat lahiriah atau seremonial yang menandainya dan membatasinya. Tiap-tiap saat dalam hidup kita adalah ibadah, bukan pada saat datang ke gereja atau pada saat sedang nungging menyembah.

Sejak Yohanes mengumumkan keda-
tangan Mesias (Yoh.1:29), genaplah seluruh rangkaian ibadah simbolistik dengan segala simbol dan berbagai aturan yang mengikutinya, karena inti/hakekat yang disimbolkan telah tiba. Rahasia illahi yang tersimpan berabad-abad dinyatakan di dalam Kristus Yesus. Itulah sebabnya sekarang kita boleh makan daging babi, dan murid-murid Tuhan tidak perlu mengikuti aturan ahli Taurat dalam hal cara makan dan lain sebagainya (Mat.15:2,
Mrk.7:5).

Murid Tuhan Tidak Puasa

Dan pasti akan mengagetkan banyak
“pendeta” yang kurang baca Alkitab bahwa murid-murid Yesus tidak berpuasa. Dalam Luk.5:33 Orang-orang Farisi itu berkata pula kepada Yesus: “Murid-murid Yohanes sering berpuasa dan sembahyang, demikian juga
murid-murid orang Farisi, tetapi murid-murid-Mu makan dan minum.”

Nada sengit dari kalangan Farisi ini mencerminkan bahwa mereka tidak menyimak makna ibadah simbolik Perjanjian Lama. Mereka tidak tahu
bahwa Yesus adalah Mesias yang menjadi pusat seluruh ibadah simbolistik P.L.(Luk.24:44), dan kini kehadiranNya telah menggenapkan seluruh ibadah simbolik P.L..

Ibadah simbolik P.L. adalah ibadah yang harus terlihat oleh mata jasmani. Tidak cukup berdoa di dalam hati, melainkan harus disertai dengan tubuh yang disujudkan ke tanah. Dan sebagai simbol seseorang bisa tahan nafsu atau sangat serius maka ia harus berpuasa. Daging babi dan daging berbagai binatang khusus dipakai untuk menyimbolkan kenajisan, bahkan penyakit kusta yang hari ini kitaketahui akibat virus/kuman, dipakai untuk menyimbolkan kutukan.

Ibadah simbolik di Bait Allah harus diikuti oleh semua bangsa di muka bumi sebelum kedatangan Mesias karena di dalamnya terkandung janji Juruselamat bagi semua umat manusia. Tuhan sangat marah ketika Ia melihat para pedagang yang berkomplot dengan para imam memakai halaman Bait Allah yang semestinya dikhususkan untuk bangsa non-Yahudi, dipakai untuk menukar uang dan lokasi binatang korban.

Tindakan mereka menyebabkan bangsa non-Yahudi tidak memiliki tempat untuk datang kepadaTuhan. Kemarahan Tuhan terhadap para pedagang bukan untuk melestarikan ibadah simbolik di Bait Allah, melainkan kecewa terhadap kesaksian orang-orang Yahudi kepada bangsa lain. Akibatnya sangat sedikit bangsa lain datang mencari Allah. Mestinya melalui mereka bangsa lain akan turut mengantisipasi kedatangan Mesias, namun sikap orang Yahudi yang tidak welcome telah menyebabkan sangat sedikit bangsa non-Yahudi yang memahami makna ibadah simbolik dan bersiap hati mengantisipasi kedatangan Mesias dan diselamatkan.

Tuhan Yesus berusaha mengubah mereka dari beribadah secara simbolik ke ibadah secara hakekat. Tetapi sangat sulit karena ibadah simbolik telah dilakukan ratusan bahkan ribuan tahun. Gambarannya adalah seperti seorang pada usia dua puluhan meninggalkan kepada karyawannya dua puluh kilogram emas dan berpesan agar ia menjaganya dan tidak boleh mengijinkan siapapun menyentuh emas itu. Karena lama
sekali tuannya tidak datang, sehingga setelah dua puluh tahun kemudian, karyawannya tidak mengenalnya lagi dan tidak memperbolehkannya menyentuh emasnya, padahal ia sendirilah pemiliknya dan dialah yang menyuruh karyawan tersebut menjaganya.

Jadi karena saking lama ibadah simbolik diperintahkan dan dilaksanakan oleh bangsa Yahudi, sehingga ketika Allah sendiri datang, dan bermaksud menghentikannya karena yang disimbolkan telah tiba, malah mengalami kesulitan. Karena kesal, Tuhan Yesus sampai berkata, “Anak manusia adalah Tuhan atas hari Sabat” (Mat.12:8, Mrk.2:28, Luk.6:5). Ia berhak menetapkan aturan untuk menguduskan hari Sabat sebagai sebuah simbol ketaatan dan
kehormatan kepada Allah, dan Ia juga berhak untuk mengatakan “kini tidak perlu lagi” karena simbol ketaatan dan kehormatan bisa dilakukan dengan bentuk lain, kini yang penting adalah hakekatnya.

Tetapi orang Yahudi tidak bisa terima.
Mereka masih tetap mau memegang teguh peraturan hari Sabat, dan juga tetap mau menyelenggarakan acara doa puasa, sebagaimana hingga hari ini oleh sebagian orang Kristen juga. Sangat sulit bagi sebagian orang untuk memahami bahwa kita kini dalam zaman beribadah secara hakekat, secara hati, secara inside, bukan secara lahiriah apalagi perut.

Mereka bikin acara doa puasa tanpa pengertian dan tanpa tujuan yang jelas. Ada Pendeta yang tiap Sabtu berpuasa, ditanya itu untuk apa? Katanya supaya ada kuasa dalam khotbah pada hari Minggu. Aneh, ini konsep Kristen yang tercampur mistik. Ada orang lain lagi yang berpuasa, ditanya tujuannya untuk apa? Jawabnya, untuk meminta sesuatu kepada Tuhan. Oh, ternyata dia lagi mogok makan seperti aktivis politik menuntut sesuatu pada pemerintah.

Tanpa Faktor Jasmani

Pada zaman ibadah hakekat ini tidak ada kebenaran bahwa kalau perut kita dikosongkan maka Allah akan lebih mendengarkan doa kita atau ibadah kita lebih sejati. Kalau demikian maka berarti unsur isi perut turut mempengaruhi terjawabnya doa, atau khasiat ibadah. Ada juga yang menyertai doa puasa dengan doa semalam suntuk, dan sesudahnya ia malah tidur sehari suntuk.

Penulis sangat kuatir tindakan demikian terpengaruh oleh konsep asceticism Budhisme, yang intinya menyakiti diri untuk menimbulkan belaskasihan dari Allah, yang dalam dunia psikologi disebut suffering-hero. Ada yang menyela dengan berkata, “bukankahYesus malam-malam berdoa di atas gunung?” Betul, itu karena Yesus tidak ada waktu untuk berdoa di siang hari, bukan doa semalam suntuk habis itu lalu tidur sehari suntuk.

Intinya, tidak ada ibadah yang mengandalkan faktor jasmani, atau tidak ada faktor jasmani yang mempengaruhi sikap Tuhan karena kini kita beribadah dengan hati, bukan dengan badan apalagi dengan perut. Jika manusia duniawi menuntut pemerintahan duniawi dengan mogok makan dan berbagai demonstrasi dan pemerintah mereka terpaksa mendengarkan mereka, namun tidak demikian dengan Allah Pencipta langit dan bumi. Ia tidak terpengaruh oleh faktor luar manusia. Ia memberi kita hak untuk berdoa, dan akan mendengarkan doa orang yang hatinya percaya dan tulus kepadaNya.

Doa Puasa Yang Alkitabiah

Lalu mengapakah Tuhan Yesus mengatakan, “Jenis ini tidak dapat diusir kecuali dengan berdoa dan berpuasa” (Mat.17:21). Bukankah Yesus sendiri mengajarkan doa puasa dalam perikop Alkitab tersebut? Memang benar, Tuhan tidak mengatakan bahwa kita tidak boleh berpuasa, apalagi berdoa. Yesus berkata, “Dapatkah sahabat mempelai laki-laki disuruh berpuasa, sedang mempelai itu bersama mereka? Tetapi akan datang waktunya, apabila mempelai itu diambil dari mereka, pada waktu itulah mereka akan berpuasa.”

Ia mengatakan juga suatu perumpamaan kepada mereka: “Tidak seorangpun mengoyakkan secarik kain dari baju yang baru untuk menambalkannya pada baju yang tua. Jika demikian, yang baru itu juga akan koyak dan pada yang tua itu tidak akan cocok kain penambal yang dikoyakkan dari yang baru itu. Demikian juga tidak seorangpun mengisikan anggur yang baru ke dalam kantong kulit yang tua, karena jika demikian,anggur yang baru itu akan mengoyakkan kantong itu dan anggur itu akan terbuang dan kantong itupun hancur. Tetapi anggur yang baru harus disimpan dalam kantong yang baru pula. Dan tidak seorangpun yang telah minum anggur tua ingin minum anggur yang baru, sebab ia akan berkata: Anggur yang tua itu
baik” (Lu.5:34-39).

Ketika murid-muridNya dikritik karena
tidak berpuasa, Yesus menjawab si pengritik bahwa muridNya akan berpuasa, yaitu pada saat mereka betul-betul perlu berpuasa. Jadi, Tuhan mengajarkan doktrin baru tentang
puasa, yaitu puasa bukan sebuah ibadah seremonial lagi melainkan karena ada keperluan. Murid-muridnya akan berpuasa pada saat situasinya menuntut mereka berpuasa, yaitu pada saat Sang Mempelai diambil dari mereka. Selaras dengan Mat.17:21 bahwa dalam peperangan rohani dengan iblis, seseorang harus sungguh-sungguh serius, dan tentu keseriusan yang lebih dari mencari makanan adalah tindakan yang sangat serius.

Intinya, puasa bukan sebuah ibadah sebagaimana pada zaman P.L., melainkan akibat dari sedemikian seriusnya perhatian seseorang terhadap sebuah masalah sehingga ia mengabaikan makanan. Kasus Matius 17:14-21, yang bisa kita lihat juga dalam Mrk.9:14-29, dengan perbedaan dalam Injil Markus tidak dikatakan harus berpuasa tetapi hanya berdoa. Namun tidak mengapa karena sesungguhnya yang Yesus ingin tekankan ialah diperlukan keseriusan.

Orang yang membawa anaknya tidak serius karena tidak bertemu Tuhan melainkan hanya muridNya sehingga kecewa dan kurang percaya kemampuan murid Yesus, sementara itu para murid juga tidak serius dan tidak percaya diri. Bahkan orang tua penderita menghina Tuhan dengan berkata, ‘jika engkau dapat berbuat sesuatu, tolonglah kami dan kasihanilah kami.” Bukankah sangat jelas dalam kasus ini terlihat keraguan di pihak orang tua anak dan ketidakseriusan di pihak murid-murid Yesus?

Jadi, bukan berarti murid-murid kekurangan kuasa, seperti baterai sudah kurang daya dan perlu di-charge dengan doa puasa agar kemampuan arus listriknya bertambah. Doa puasa yang alkitabiah ialah yang terjadi
secara spontan, atau tidak terjadwal, karena ada sesuatu yang lebih serius dari makan, sama sekali bukan ibadah seremonial, atau bentuk asceticism, atau tindakan “pengecasan” iman kekristenan.

Tuhan berkata bahwa pengajaran ini
bagaikan anggur baru, dan tidak boleh ditaruh ke dalam kirbat (kantong) yang lama karena anggur baru akan mengoyakkan kantong lama.Penulis sadar bahwa banyak “kirbat lama” akan terkoyak hatinya ketika membaca tulisan ini. Dan Tuhan juga berkata bahwa yang sudah biasa minum anggur lama (doktrin lama) tidak suka anggur baru (doktrin baru). Tetapi jika kita ingin menjadi sempurna, atau ingin hidup keagamaan kita lebih benar dari hidup keagamaan ahli Taurat dan orang Farisi, maka kita harus menerima anggur baru. Sebab kata Tuhan, “jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga” (Mat.5:20).

Apakah hidup keagamaanmu, bukan moral tetapi praktik keagamaan, lebih benar dari Ahli Taurat. Secara moral para Ahli Taurat sudah sangat hebat. Tetapi praktik keagamaan mereka itu masih yang simbolistik, ritualistik dan Jasmaniah, belum yang bersifat Hakekat, Rohaniah dalam Kebenaran.

Ada kelompok yang ngotot pelihara hari Sabat karena mereka dinasihati malaikat dari Lucifer. Dan ada kelompok yang tetap ngotot membangun ibadah simbolistik ritualistik. Lihatlah, jubah mereka dalam performa ibadah simbolistik ritualistik mereka, lengkap dengan wadah kemenyan yang digoyang-goyang. Kasihan sekali, hidup keagamaan mereka malah lebih parah dari para Ahli Taurat. Mereka tidak mau meninggalkan sistem ibadah simbolistik, ritualistik dan Jasmaniah untuk memasuki sistem ibadah Hakekat, Rohaniah dalam Kebenaran.

Doa saya, kiranya Tuhan memberi hikmat kepada setiap orang yang membaca tulisan ini. Halleluyah, Maranatha.

Jakarta, 3 Januari 2019
DR. SUHENTO LIAUW, DRE., TH.D.
<www.graphe-ministry.org>
<drsuhentoliauwblog.graphe-ministry.org>
YouTube channel:GBIA GRAPHE dan GBIA INDONESIA
Maranatha!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *